POROSCELEBES.COM, LUWU – Diantara deretan rumah baru berplester semen dan berpagar besi di Desa Marinding, Kecamatan Bajo Barat, Kabupaten Luwu, berdiri sebuah bangunan reyot yang nyaris tak terlihat. Rumah itu lebih menyerupai gubuk kecil dari bilik kayu lapuk dengan atap bocor dan dinding yang tak sepenuhnya utuh. Tidak ada pintu, hanya sehelai kain usang yang digantung sebagai tirai, menjadi pembatas ruang tidur dan dapur seadanya.
Di dalamnya, tinggal seorang Suami Istri bersama empat anaknya. Dua masih balita, dua lainnya bersekolah dengan seragam yang tampak telah diwariskan dari generasi sebelumnya.
“Kalau malam, angin masuk dari mana-mana. Anak-anak sering batuk dan demam. Tapi mau bagaimana lagi, hanya ini tempat kami berteduh,” ujar Epi menggendong Bayinyanya yang Tengah Demam, Minggu 27/7/2025
Ketimpangan distribusi bantuan sosial di desa yang katanya sedang “maju” berkat berbagai program pemerintah, tidak di rasakan oleh epi ibu 4 anak
Padahal, ia bukan tidak pernah mengajukan diri. Dalam beberapa kali pendataan, namanya tercantum sebagai calon penerima bantuan rumah layak huni. Tapi sampai kini, setelah puluhan unit bantuan dibangun dan dihuni warga lain, ia tetap menatap dari jauh dari rumah yang bahkan tak pantas disebut tempat tinggal.
Ironisnya, penerima bantuan rumah di Marinding justru banyak yang kini tinggal di rumah permanen, berdinding tembok rapi, berubin keramik, dan bahkan telah memiliki kendaraan roda dua. Beberapa di antaranya dikenal warga sebagai keluarga yang sudah cukup mapan.
“Yang rumahnya bagus malah dapat bantuan. Sementara yang seperti dia—yang benar-benar miskin—malah tidak dilirik,” tutur warga setempat.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Bisik-bisik pun mulai terdengar. Nama Kepala Desa Marinding, seorang perempuan yang telah menjabat dua periode, disebut-sebut memiliki pengaruh dalam proses seleksi penerima bantuan.
“Katanya bantuan ditentukan lewat musyawarah desa. Tapi hasilnya seperti ini. Ada yang tidak beres,” ungkap seorang tokoh masyarakat setempat.
Warga mulai resah, Bukan hanya karena satu kasus, tapi karena kekhawatiran bahwa bantuan sosial yang seharusnya menyasar yang paling lemah justru dikapitalisasi oleh segelintir yang punya koneksi.
“Saya tidak iri,” kata sang ibu pelan, “saya hanya ingin anak-anak saya tidur tanpa kedinginan. Tanpa takut atap jatuh ketika hujan turun,”
Saat Awak Media menyambangi lokasi, tampak jelas bahwa tempat yang ia tinggali jauh dari standar rumah sehat. Tidak ada kamar mandi. Air bersih diperoleh dari sumur tetangga. Listrik, Sekadar lampu redup yang tersambung dari kabel pinjaman.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Pemerintah Desa Marinding Meski Upaya konfirmasi melalui Pesan WhatsApp telah dilakukan
Namun masyarakat berharap, pihak-pihak berwenang di tingkat kecamatan maupun kabupaten dapat melakukan evaluasi dan pendataan ulang secara menyeluruh.
Lebih dari Sekadar Rumah Bagi sang ibu, rumah bukan sekadar bangunan. Ia adalah simbol keberadaan. Tempat membesarkan anak-anaknya, mendidik mereka, dan menanam harapan akan masa depan yang lebih baik.
Di sudut kecil rumah berkain penutup itu, ada keluarga kecil yang diam-diam memendam luka. Luka karena diabaikan oleh sistem yang seharusnya melindungi. Luka karena keadilan sosial tampaknya belum benar-benar merata.
Dan mungkin, yang paling menyakitkan bukanlah dinginnya angin malam atau nyamuk yang menggigiti bayinya. Tapi kesadaran bahwa di tanah kelahirannya sendiri, ia belum dianggap cukup penting untuk dibantu. (Tim)