POROSCELEBES.COM, LUWU- Idealnya, seorang wakil rakyat berdiri di garis depan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Idealisme itu tampak mulai kabur. Sejumlah oknum anggota dewan justru diduga terlibat langsung dalam kegiatan bisnis di berbagai perusahaan yang beroperasi di daerahnya.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, beberapa anggota dewan disebut-sebut memiliki perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi, penyedia barang (suplier), maupun jasa pengadaan. Menariknya, nama-nama mereka tidak muncul secara langsung dalam dokumen perusahaan. Sebagai gantinya, bisnis-bisnis itu diatasnamakan orang lain, baik keluarga maupun rekan dekat, untuk menghindari pelanggaran kode etik sebagai pejabat publik.
“Sudah jadi rahasia umum. Ada beberapa anggota dewan yang punya perusahaan, tapi disamarkan lewat nama lain. Semua orang tahu, tapi tidak ada yang berani bicara,” ungkap Ismail Ishak, Ketua Yayasan Lestari Alam Luwu, Selasa (28/10/2025).
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar, ketika oknum wakil rakyat juga menjadi bagian dari korporasi, ke mana rakyat harus mengadu jika terjadi persoalan antara perusahaan dan masyarakat?
Misalnya, ketika perusahaan bermasalah dalam pengelolaan tenaga kerja, ada pekerja yang tidak digaji layak, di-PHK sepihak, atau mengalami kecelakaan kerja, maka posisi oknum anggota dewan yang juga memiliki kepentingan bisnis menjadi abu-abu. Apakah mereka akan berpihak pada pekerja sebagai rakyat yang mereka wakili, atau pada perusahaan yang menguntungkan mereka secara pribadi?
Begitu pula jika terjadi dampak lingkungan akibat aktivitas perusahaan, seperti pencemaran air, kerusakan jalan desa, atau penurunan kualitas udara di sekitar wilayah operasional ataukah terkait rekrutmen tenaga kerja. Dalam situasi seperti itu, publik sulit berharap pada keberpihakan oknum anggota dewan yang memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan tersebut.
“Ini bukan hanya soal etika, tapi soal keadilan publik. Bagaimana rakyat bisa percaya kalau wakil mereka justru punya kepentingan ekonomi di balik kebijakan?” Ujar Ismail.
Dilema itu semakin nyata ketika terjadi aksi unjuk rasa atau protes masyarakat terhadap perusahaan. Alih-alih menjadi jembatan dialog, anggota dewan yang memiliki keterlibatan bisnis kerap memilih diam, atau seolah-olah menjadi mediator agar massa bisa menjadi tenang, atau bahkan tampak membela korporasi dengan dalih menjaga iklim investasi.
Pada akhirnya, fenomena ini menegaskan kegamangan fungsi representasi di daerah. Ketika wakil rakyat lebih sibuk mengurus proyek dan tender ketimbang menyerap aspirasi, maka suara rakyat seolah teredam di balik tumpukan kepentingan pribadi dan akan menjadi penonton di tanah sendiri.
Masyarakat kini hanya bisa bertanya, ketika wakil rakyat berubah menjadi wakil korporasi, siapa lagi yang benar-benar mewakili rakyat?















