POROSCELEBES.COM, Belopa–Pengadilan Negeri Belopa melanjutkan perkara nomor 16/PDT.G/2024/PN Blp mengenai perbuatan melawan hukum antara penggugat PT Masmindo Dwi Area dan tergugat Edy Lembangan pada Kamis, 3 Oktober 2024.
Dalam sidang tersebut, PT Masmindo Dwi Area (MDA) menghadirkan 1 orang saksi dan 1 orang Ahli, yaitu Athair Assegaf dari Dinas Perkim Luwu dan saksi ahli bidang agraria Fakultas Hukum UNHAS, Dr. Kahar Lahae, S.H., M.Hum.
Terkait dengan klaim makam leluhur yang diajukan oleh Edy Lembangan, saksi yang dihadirkan atas nama Athair Assegaf membenarkan bahwa pihaknya pernah melakukan kegiatan survei dan pendataan makam dalam wilayah konsesi PT Masmindo Dwi Area (MDA).
Tujuan dari pendataan makam tersebut, kata dia, adalah untuk mengetahui berapa makam yang akan terkena dampak dari kegiatan proyek MDA serta mencari tahu ahli waris dari makam tersebut. Sebab, menurut Athair, pihak MDA berencana memberikan tali asih atau biaya relokasi makam.
“Kami menemukan 6 atau 7 makam di GRV (Ground Reference Value). Makam-makam tersebut kurang terurus, dan sebagian tertutup rumput,” kata dia.
Namun, dia menjelaskan bahwa tidak mengetahui siapa ahli waris makam tersebut, apakah makam itu milik tergugat atau orang lain.
Athair menambahkan bahwa ia bersama beberapa pegawai Dinas Perkim dan perwakilan pihak MDA, Rahmat Sabang, meninjau langsung makam tersebut pada bulan Oktober 2023. “Setelah dilakukan pendataan, dilanjutkan sosialisasi di Desa Rante Balla pada November 2023,” ungkapnya.
Dalam sosialisasi tersebut, jelas Athair, hadir sejumlah pihak, seperti Kepala Desa Rante Balla dan Boneposi, Camat Latimojong, serta masyarakat.
Selain itu, hadir pula Madika Ulusalu. Sosialisasi itu bertujuan memfasilitasi MDA dan ahli waris apabila ada masyarakat sekitar Rante Balla yang mengklaim sebagai ahli waris.Makam-makam tersebut telah direlokasi oleh ahli waris.
Ia menjelaskan bahwa yang melakukan relokasi makam adalah Rispa Paita untuk satu makam dan Rifka Ika untuk dua makam, dengan besaran tali asih sebesar Rp. 30 juta.
Namun, ia tidak mengikuti proses relokasi tersebut. Sementara itu dalam keterangan ahli dalam persidangan, Kahar Lahae, S.H., M.Hum., ia juga menanggapi klaim Edy Lembangan terkait tanah adat.
Kahar menjelaskan bahwa di Indonesia terdapat tiga entitas tanah, yakni tanah hak, tanah negara, dan tanah ulayat. Tanah ulayat, kata dia, bisa melahirkan tanah adat karena merupakan bagian dari masyarakat hukum adat.
“Namun dalam situasi sekarang ini, pengaturan tanah adat tidak lagi memungkinkan adanya tanah adat baru, apalagi setelah lahirnya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Semenjak 64 tahun lalu, tidak ada lagi tanah adat baru,” kata Kahar.
Dalam sejarahnya, jelas Kahar, yang bertahan adalah masyarakat hukum adat, kemudian kerajaan, setelahnya penjajahan, dan kemerdekaan.
Dengan demikian, apabila sampai sekarang masih ada tanah adat, tanah tersebut sudah ada sejak dulu, bukan baru sekarang.
“Sebab pada masa penjajahan Belanda, terdapat pendataan terhadap tanah-tanah adat yang kemudian dikenakan pajak. Bukti lain setelah UUPA bukan lagi sebagai bukti kepemilikan, melainkan hanya sebagai bukti pembayaran pajak kepada negara, berupa pajak bumi dan bangunan,” lanjutnya. (*)