Langkah Tak Pernah Masuk Barisan Pantaskah Sekolah Yang Punya Candangan Dapatkan Juara

Oleh : Ady Candra

POROSCELEBES.COM, LUWU – Suara tambur dan teriakan semangat menggema di jalanan Belopa, Kamis, 14 Agustus 2025. Langkah-langkah tegap peserta gerak jalan indah menyusuri aspal, seirama dengan kibaran bendera merah putih yang menari di udara. Warga berdesakan di pinggir jalan, mengabadikan momen yang menjadi bagian dari perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.

Bacaan Lainnya

Di antara barisan rapi anak-anak berseragam khusus, topi keren, sepatu baru  tanpa noda, ada beberapa sosok kecil yang berjalan sedikit di luar barisan. Seragamnya sama persis, tapi langkahnya tak menuju garis penilaian. Ia adalah cadangan, istilah dingin yang tak pernah benar-benar ia pahami… sampai hari ini.

Sejak awal, ia membayangkan berdiri di barisan depan, melangkah bersama teman-temannya. Ia berlatih berhari-hari di halaman sekolah, menahan panas, menghafal setiap hitungan, membayangkan suaranya menyatu dalam teriakan “MERDEKA!” yang lantang. Namun, pagi itu, gurunya berkata pelan, “Kamu cadangan. Kalau ada yang sakit, baru masuk.”

Kata cadangan itu seperti jarum kecil yang menusuk perlahan. Bukan karena ia tak mengerti, tapi karena ia mengerti terlalu dalam.

Dari pinggir jalan, ibunya mengikuti dari jauh. Matanya panas, bukan karena terik matahari, melainkan karena melihat anaknya berjalan sendiri di tepi, seperti bayangan yang tak diundang cahaya. Sesekali, sang anak melirik ke arah barisan, lalu menunduk.

Setiap kali musik drumband menggema, dadanya berdegup kencang. Bukan karena semangat, tapi karena berharap… berharap ada yang memanggil namanya, meski sekali saja. Sampai di hadapan Bupati dan wakil Bupati Luwu yang duduk diatas panggung utama harapan itu mulai redup.

Namun hingga garis finis, panggilan itu tak pernah datang, sorak kegembiraan membuncah. Semua peserta bersuka cita karena telah mampu menyelesaikan tugasnya tanpa ada hambatan atau peserta yang sakit. Semua… kecuali anak yang berdiri di belakang, memegang topinya erat-erat, menahan hujan yang jatuh dari matanya sendiri.

Bagi sebagian guru atau pendamping, keberadaan cadangan dianggap hal biasa. Namun, dari sisi psikologis, kondisi ini dapat meninggalkan luka yang tak terlihat pada anak. Betapa berharapnya siswa cadangan tersebut untuk ikut berbaris, apalagi setelah berlatih berhari-hari.

Pertanyaannya, pantaskah peserta yang mengikutsertakan cadangan tetap meraih juara, sementara tidak semua anak mendapat kesempatan yang sama untuk tampil?

Bagi dunia, ia hanyalah “cadangan”.

Bagi ibunya, ia adalah pahlawan kecil yang hari itu belajar arti sabar, arti luka, dan bahwa kemerdekaan belum selalu adil bagi semua hati yang berharap.

Karena ada langkah-langkah yang indah… meski tak pernah masuk ke barisan.

Pos terkait