MK Putuskan Polisi Tak Bisa Bantu Leasing Tarik Kredit Macet Kendaraan

Poroscelebes.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan hanya pengadilan negeri (PN) yang bisa melakukan penegakan UU Fidusia berupa penarikan kendaraan yang kreditnya macet. Hal itu apabila terjadi wanprestasi pembayaran.
Hal itu diputuskan MK dalam menafsirkan Penjelasan Pasal 30 UU Fidusia yang berbunyi:

Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.

Bacaan Lainnya

“Pihak yang berwenang sepanjang dimaknai Pengadilan Negeri,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sidang terbuka yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (23/2/2022).

MK menegaskan, dengan demikian, leasing tidak bisa melalukan eksekusi sendiri dengan bantuan kepolisian.

“Pihak kreditur tidak bisa melakukan eksekusi sendiri secara paksa misalnya dengan meminta bantuan aparat kepolisian menangani apabila cedera janji (wanprestasi),” tegas hakim MK Aswanto.

Kasus bermula saat pasangan suami-istri dari Jakarta Utara (Jakut), Johanes Halim dan Syilfani Lovatta Halim, dipolisikan oleh leasing karena keberatan terhadap tagihan leasing atas kredit mobil Toyota Voxy hingga ditahan. Padahal, sesuai dengan putusan MK, kasus ini seharusnya diselesaikan lewat jalur perdata.

“Ini ada nasabah yang menggugat UU Fidusia dan KUHP di Mahkamah Konstitusi karena leasing mau menarik secara sepihak objek jaminan fidusia berupa mobil Voxy, sedangkan belum ada kesepakatan cedera janji antara debitur dan kreditur. Padahal pada putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 menyatakan selama belum ada kesepakatan tentang adanya cedera janji antara debitur dan kreditur, maka tidak boleh dilakukan penarikan secara sepihak,” kata kuasa hukum Johanes-Syilfani, Eliadi Hulu.

Dalam berkas permohonan yang dikirimkan ke MK, pasutri itu mengisahkan kredit Voxy disetujui leasing pada 2019. Memasuki 2020, perekonomian pasutri itu terdampak pandemi COVID-19 sehingga kesulitan membayar cicilan.

Pasutri itu kemudian mengajukan relaksasi dan disetujui leasing pada 18 September 2020. Permohonan ini dikabulkan dengan kredit dibantarkan dan akan kembali dicicil pada Mei 2021. Namun karena kondisi ekonomi masih terdampak pandemi COVID, Johannes-Syilfani kembali mengajukan penangguhan kredit. Sebab, berdasarkan PJOK Khusus yang mengatur relaksasi restrukturisasi, kredit diperpanjang hingga Maret 2023.

Namun permohonan itu ditolak leasing. Malah, Johannes-Syilfani dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan Pasal 36 UU Fidusia pada Juni 2021. Pasal itu berbunyi:

Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pos terkait