Oleh : Uril Of Ell yu
POROSCELEBES.COM, LUWU – Dalam wacana filsafat, istilah eksistensi umumnya merujuk pada kenyataan “ada”, sesuatu yang hadir secara nyata, tampak, dan dapat dirasakan. Sedangkan esensi dipahami sebagai inti terdalam yang memberi identitas, makna, dan arah pada keberadaan itu sendiri.
Namun, jika perspektif ini dibalik—yakni dengan menempatkan Tuhan sebagai Eksistensi sejati dan manusia sebagai esensi—akan muncul horizon pemahaman baru yang kaya makna, baik secara metafisis maupun spiritual.
Dalam tradisi metafisika Islam, Tuhan dipahami sebagai Al-Wujūd al-Ḥaqq, keberadaan yang mutlak dan niscaya. Eksistensi-Nya tidak bergantung pada apa pun; sebaliknya, segala sesuatu bergantung pada-Nya. Tanpa-Nya, tidak ada satu pun yang mampu berdiri.
Analogi sederhana dapat diberikan melalui hubungan matahari dan cahaya: matahari adalah sumber cahaya itu sendiri, sementara dunia hanya dapat terlihat karena diterangi olehnya.
Eksistensi Tuhan mutlak, dan segala yang lain hadir hanya sebagai pancaran dari-Nya. Manusia, dalam perspektif ini, tidak memiliki eksistensi sejati. Ia hanyalah esensi—sebuah pancaran, cerminan, atau bayangan dari Eksistensi Ilahi.
Keberadaannya bergantung sepenuhnya pada Tuhan, sebagaimana cahaya lampu bergantung pada aliran listrik. Ketika manusia menyangka bahwa ia “ada dengan sendirinya”, sesungguhnya ia sedang terjebak dalam ilusi. Sebab hakikatnya, segala keberadaan manusia hanyalah manifestasi dari Wujud Mutlak, bukan entitas yang mandiri.
Pemahaman ini bukan sekadar wacana metafisis, melainkan memiliki implikasi langsung bagi spiritualitas manusia:
1. Kesadaran akan Titipan
Tubuh, pikiran, perasaan, bahkan napas hanyalah pemberian. Kesadaran ini melahirkan kerendahan hati, sebab manusia memahami dirinya bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai penerima.
2. Menghapus Ilusi Keterpisahan
Jika hanya ada satu Eksistensi sejati, maka manusia tidak pernah benar-benar terpisah dari-Nya. Ibadah, doa, dan kontemplasi bukanlah upaya mencari sesuatu yang jauh, melainkan jalan untuk menyadari kehadiran-Nya yang paling intim.
3. Fana dari Ego
Kesadaran bahwa manusia hanyalah esensi menumbuhkan sikap melepas ego. Apa yang tampak sebagai “milikku” dipahami sebagai titipan. Kehilangan dan kematian pun tidak lagi menakutkan, sebab manusia hanyalah bayangan yang pada akhirnya akan lenyap kembali ke sumber cahaya.
4. Manusia sebagai Cermin Eksistensi
Manusia dipanggil untuk menjadi cermin yang memantulkan sifat-sifat Ilahi—kasih, kebijaksanaan, keadilan, dan kesabaran. Semakin ia membersihkan dirinya dari debu ego, semakin jernih ia menjadi saluran bagi sifat-sifat Eksistensi untuk hadir di dunia.Pada akhirnya, segala esensi akan kembali kepada Eksistensi.
Hidup manusia di dunia hanyalah perjalanan sementara untuk mengenali asalnya. Kematian tidak perlu dipahami sebagai akhir, melainkan sebagai kembalinya pancaran ke matahari, kembalinya bayangan ke cahaya.Dengan menempatkan Tuhan sebagai Eksistensi sejati dan manusia sebagai esensi, manusia akan sampai pada kesadaran eksistensial yang mendalam.
Ia hidup dengan rendah hati, penuh kasih, dan ikhlas, sebab ia memahami bahwa segala sesuatu hanyalah pinjaman. Tugas tertingginya adalah menjadi cermin yang jernih bagi cahaya Eksistensi, hingga akhirnya ia kembali menyatu kepada-Nya.
“Tuhan adalah Eksistensi sejati, sedang manusia hanyalah esensi-Nya; kita bukan ‘ada’ dengan diri sendiri, melainkan pancaran yang akan kembali, cermin yang memantulkan cahaya-Nya.”