Poroscelebes.com, Jakarta.- Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menyatakan pasal penodaan agama di KUHP masih diperlukan. Sebab, penodaan agama adalah bentuk pengingkaran terhadap Tuhan. Menurutnya, kebebasan beragama adalah dimensi internum, tapi kebebasan beragama ada aspek eksternum.
“Dari aspek eksternum, pemerintah masuk agar semua agama saling menghargai tidak melakukan penodaan, dan kalau ternyata ada penodaan maka mekanismenya sudah diatur,” kata Aswanto sebagaimana dilansir website MK, Minggu (24/10/2021).
Hal itu disampaikan dalam seminar bertema ‘Tinjauan Yuridis Ketentuan Penodaan Agama Dalam Perspektif Konstitusi’ di Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa di Bangli, Bali. Aswanto menyebutkan, sebagai konsekuensi negara hukum, jaminan tidak hanya sebuah diksi atau frasa yang terkandung dalam sebuah kitab, tetapi ketentuan itu harus diimplementasikan. Jadi ketika ada yang menyimpang dari regulasi, pemerintah harus hadir agar kondisi tetap kondusif.
“Sehingga seluruh pemeluk agama dapat melaksanakan ibadah menurut agama dan ajarannya tanpa ada rasa ketakutan, rasa cemas, dan lain-lain,” ujar Aswanto.
Lebih lanjut Aswanto mengatakan orang yang melakukan penodaan agama justru tidak memahami agama sendiri. Menurutnya, orang yang taat beragama justru tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikatakan sebagai penodaan agama.
Terkait dengan agama, Aswanto mengungkapkan ada juga persoalan yang muncul dalam Undang-Undang Kependudukan, kolom agama tidak mengakomodasi penganut kepercayaan. Oleh karena itu, lanjutnya, MK membuat putusan penganut kepercayaan diakomodasi dalam kolom agama.
Dikatakan oleh Aswanto, selama ini penganut kepercayaan terpaksa menuliskan agama tertentu yang menjadi mayoritas di suatu daerah.
Dalam kesempatan itu, hakim konstitusi Daniel Yusmic Foekh mengatakan ada beberapa penyebutan hak, antara lain hak asasi manusia, hak konstitusional, hak warga negara, dan lain-lain.
Menurutnya, hak asasi ada yang dapat dibatasi dan ada pula yang tidak dapat dibatasi.”Di mana di dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat ketentuan yang menyatakan hak dapat dibatasi dengan syarat yang ketat,” paparnya.Daniel menambahkan, setelah rezim Orde Baru tumbang, kasus penistaan agama semakin banyak dan banyak kasus yang terjadi di media sosial.”Hal ini terjadi karena banyak yang tidak memahami penggunaan dan dampak dari media sosial,” beber Daniel.
Sementara itu, menurut dosen Jurusan Hukum Fakultas Dharma Duta, UHN, I Gusti Bagus Sugriwa, Dewi Bunga mengatakan Pasal Penodaan Agama masih dipertahankan karena harus dilihat pada latar belakang budaya Indonesia. Menurut Dewi, pasal Penodaan Agama juga tidak lepas dari jaminan kebebasan beragama yang dijamin oleh negara.
Dewi menjelaskan, jika orang-orang memahami nilai-nilai agama, justru tidak akan melakukan kejahatan.”Ujaran kebencian atau penodaan agama di media sosial harus diperhatikan karena memiliki dampak yang besar, di mana banyak orang dapat mengetahui ujaran kebencian itu dan disebar ulang oleh orang lain sehingga meluas ke khalayak,” kata Dewi