Penulis: Uril
POROSCELEBES.COM – Sejak awal peradabannya, manusia adalah makhluk yang terdorong oleh rasa ingin tahu—sebuah dorongan yang melahirkan teknologi demi menembus batas-batas yang tak dapat dicapai oleh mata telanjang maupun tangan yang terbatas. Drone adalah salah satu manifestasi terbaru dari sifat dasar itu: diciptakan sebagai alat eksplorasi alam, untuk menembus medan yang terjal, hutan yang rapat, dan langit yang terlalu tinggi untuk dipijak. Dengan kamera yang menatap dunia dari perspektif yang belum pernah dilihat sebelumnya, drone awalnya adalah mata manusia yang diperpanjang.
Namun sejarah teknologi tidak pernah berjalan lurus. Ketika kemampuan drone berkembang, akselerasi inovasi manusia dari berbagai negara mengubahnya menjadi lebih dari sekadar alat eksplorasi. Drone bertransformasi menjadi instrumen peperangan—pembawa bom, pengintai tak terlihat, simbol betapa cepatnya teknologi netral dapat berubah menjadi kekuatan destruktif. Bukan karena kesalahan drone itu sendiri, tetapi karena naluri manusia yang selalu mencari manfaat strategis dari setiap penemuan.
Dan seperti pola yang berulang sejak manusia menciptakan api hingga internet, muncul fase berikutnya: ketika teknologi menciptakan ancaman, manusia menciptakan teknologi lain untuk mengatasi ancaman itu. Kini berbagai negara berlomba membangun alat penghancur sensor drone, sistem anti-drone, jammer, dan teknologi penangkal lainnya. Ironisnya, manusia kembali sibuk meng-counter ciptaannya sendiri.
Seakan-akan ada hukum tak tertulis yang mengatur perjalanan inovasi:
Ciptaan → Risiko → Solusi → Ciptaan baru → Risiko baru → Solusi baru.
Pertanyaannya: Apakah manusia akan selalu seperti ini?
Jawabannya hampir pasti: ya.
Karena inilah esensi manusia sebagai spesies: problem-solving tanpa henti. Setiap inovasi membuka pintu baru, tapi juga bayang-bayang baru. Ketika satu masalah terselesaikan, selalu ada tantangan lain yang muncul, sering kali merupakan konsekuensi dari solusi sebelumnya.
Inilah paradoks yang memajukan peradaban. Teknologi yang diciptakan manusia selalu bersifat netral; manusialah yang menentukan arah manfaat atau kehancurannya. Perbedaan kepentingan, ambisi kekuasaan, dorongan kompetitif, serta ketakutan akan ketertinggalan menjadikan inovasi selalu berada di medan tarik menarik antara kebaikan dan ancaman.
Namun dari siklus ini, ada hal megah yang perlu dipahami:
Peradaban maju bukan karena manusia berhenti menciptakan masalah, tetapi karena manusia tidak pernah berhenti menciptakan solusi.
Drone yang awalnya alat eksplorasi berubah menjadi senjata, namun itu memaksa manusia menciptakan sistem pertahanan yang lebih cerdas. Setiap ancaman baru melahirkan kecerdikan baru. Ekosistem teknologi pun berkembang seperti hutan rimbun: satu spesies baru akan memunculkan spesies lain sebagai respons, menjaga keseimbangan alam buatan manusia.
Pada akhirnya, perjalanan ini bukan sekadar cerita tentang drone, tetapi tentang manusia itu sendiri—makhluk yang tidak pernah puas, tidak pernah berhenti bertanya, dan tidak pernah berhenti mencoba mengatasi konsekuensi dari rasa ingin tahunya.
Dan selama sifat itu ada, siklus “penciptaan dan penyeimbangan” akan terus berputar, membawa kita semakin jauh ke masa depan yang penuh potensi dan penuh tanggung jawab.















